Pengaturan tentang pembuktian –> buku ke-4 KUHP -> bagian materil dari hukum formil
Alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat digunakan untuk membuktikan sesuatu.
Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil/ pendirian dan sesuatu itu harus sesuai Undang-undang.
Pembuktian adalah usaha yang disampaikan pada hakim berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar hakim dapat memakainya untuk menentukan keputusan.
Apa yang harus dibuktikan?
Yang harus dibuktikan hanya hal-hal yang disangkal/ dibantah oleh pihak lawan.
Yang tidak perlu dibuktikan?
1. Hal-hal yang sudah diakui kebenarannya
2. Hal-hal yang sudah diketahui masyarakat umum
3. Hal-hal yang kebetulan sudah diketahui hakim.
Pedoman pembuktian :
1. Menurut pasal 1865 KUHP -> Beban pembuktian -> 163 HIR/RIB -> KUHAP
Siapa saja yang menyatakan punya hak/ menyebutkan sesuatu yang berbeda dari yang dikemukakan pihak lawan, maka dia harus membuktikan adanya hal/ peristiwa tersebut.
2. Menurut pasal 1866 KUHP ada 5 macam alat bukti :
1. Bukti tulisan (1867)
a. Berupa akta/ surat-surat lain.
Akta = tulisan/ surat yang ditandatangani dan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti.
Bentuk akta ada 2 macam:
i. Otentik (resmi) = tulisan/ surat yang dibentuk dalam format tertentu di hadapan pejabat resmi yang berwenang membuatnya (notaris, camat, bupati, catatan sipil). Oleh karena itu hakim harus mempercayai akta tersebut.
ii. Di bawah tangan = dibuat oleh pihak yang berkepentingan/ bersangkutan tanpa perantara pejabat resmi
b. Surat-surat lainnya = tulisan-tulisan lain yang bukan akta (faktur, kwitansi).
2. Bukti kesaksian (1895)
Adalah pernyataan seseorang mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang dilihatnya, didengar, dialami sendiri.
Saksi korban = saksi yang sekaligus menjadi korban
Saksi ahli = keterangan berdasarkan keahlian seseorang. Dia tidak harus memenuhi syara-syarat sebagai saksi.
Dalam kesaksian dianut sistem : “UNUS TESTIS & NULLUS TESTIS”
Artinya keterangan seorang bukan kesaksian. Berarti di dalam suatu perkara harus ada saksi lebih dari satu orang supaya dapat menjadi saksi. Jika hanya ada satu orang, maka hakim harus mencari bukti yang lain.
3. Bukti Persangkaan/ Dugaan (1915)
Adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sudah jelas dan nyata. Persangkaan harus dibuktikan lebih lanjut.
4. Pengakuan (1923)
Pernyataan suatu pihak mengenai peristiwa- dimuka hakim – diluar persidangan (saat diinterogasi)
5. Sumpah
Pernyataan dengan segala keluhuran untuk memberikan keterangan dengan kesaksian Tuhan dan sanggup menerima hukuman dari Tuhan.
Menurut professor Ali Afendi : pernyataan yang khitmad bahwa Tuhan adalah yang Maha Tahu dan bahwa Tuhan akan menghukum setiap dusta pada waktu orang bersaksi. Merupakan alat bukti yang paling rendah.
Ada 2 macam sumpah :
1. DECISOIR : pemutus/ penentu.
Sumpah atas permintaan salah satu pihak yang berperkara untuk memutus suatu perkara. Jika kekurangan bukti-bukti bisa oleh penggugat dan tergugat diucapkan oleh yang menang.
2. SUPLATOIR : sumpah tambahan.
Sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya. Untuk melengkapi bukti-bukti yang sudah ada.
Dalam perkara pidana, alat bukti hanya ada 4. Sumpah bukan merupakan alat bukti karena dalam perkara pidana hukuman bersifat penderitaan.
VERJAARING (DALUWARSA) (1946)
Menurut pasal 1946 daluwarsa adalah suatu upaya untuk memeperoleh suatu hak atau untuk membebaskan dari suatu kewajiban dalam suatu perikatan karena suatu waktu tertentu yang ditentukan UU.
Ada 2 macam lewat waktu :
1. AQUISITIEVE VERJAARING (1963)
Verjaaring untuk memperoleh suatu hak.
Contoh : B menguasai tanah bukan miliknya. UU menentukan, setelah 30 tahun jika tidak ada keberatan dari pihak lain, ia dapat meminta pengadilan untuk menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Ketentuan ini tidak berlaku bila ada keberatan sekali saja.
2. EXTINTIEVE VERJAARING (1967)
Verjaaring untuk menghapuskan suatu kewajiban.
Contoh : A mempunyai utang kepada B. Selama 30 th B tidak pernah menegur A. Maka setelah 30 th A dibebaskan dari utang.
Verjaaring digunakan untuk melindungi orang yang berkepentingan/ berutang dengan jalan mengamankannya dari tuntutan hukum yang sudah lama. Verjaaring harus dapat dibedakan dengan pelepasan hak.
Pelepasan hak : Hilangnya suatu hak bukan karena verjaaring tapi karena sikap yang bersangkutan yang menunjukkan dia tidak akan menggunakan haknya kembali.
Verjaaring juga harus dapat dibedakan dengan DECHEANCE.
KUHP memberikan hak kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu, jika tidak digunakan lagi maka hak itu menjadi gugur (DECHEANCE). Tidak ada yang bisa mencegah untuk menggunakan hak. UU memberikan hak dalam waktu tertentu. Exmpl : reklame, 30 hari. *Verjaaring dapat dicegah, sedangkan decheance itu pasti.